PRAHARA PERNIKAHAN PERTAMA
Pada tahun 1996 aku pulang kampung halaman dan tak
sengaja aku melihat sosok yang pernah
aku kenal semasa SD dan SMP sedang
dibonceng sepeda motor oleh temannya. Kami kebetulan berpapasan di perempatan
jalan ketika aku berangkat ke masjid untuk mengikuti sholat Maghrib berjamaah. Aku memanggilnya
dengan suara lirih namun dia tidak menanggapinya. Kupikir dia tidak
mendengar suaraku atau mungkin dia sudah lupa padaku. Beberapa saat kemudian
tiba – tiba dia memanggilku dengan suara lantang. Aku menoleh ke arahnya. Dia
tampak tersenyum merekah dan kelihatan gigi – giginya yang putih bersih. Sesaat
kami berpandangan sebelum akhirnya bayang wajahnya semakin menjauh hilang di dalam kegelapan.
Aku kembali melangkahkan kakiku ke masjid dengan hati berdetak dengan kencang.
Keesokan
harinya aku harus kembali dalam
perantauan. Selama dalam perantauan sebenarnya dia yang paling sering hadir dalam
mimpiku. Dia adalah seseorang yang sulit aku lupakan selama aku menjalani hari – hariku di masa remaja. Dia
sebenarnya seseorang yang paling membuat jantungku berdebar - debar. Namun aku selalu memendamnya dalam setiap deritaku. Aku
telah jatuh bangun memperjuangkan hidup ini dan tak tahu entah sampai kapan aku
berhasil mengubah nasibku.
Pada
tahun 2003 ketika aku menunggu iqomah untuk sholat Maghrib berjamaah di kampung
halaman, aku bertemu dengan Sunoko, teman masa SD. Sunoko bertanya padaku, “ NP
sudah menikah dan apakah kamu dapat undangan ?”
“ Aku
tidak mendapat undangan karena mungkin dia tidak tahu keberadaanku ada di
mana.”, jawabku.
Banyak
sudah teman yang menikah entah itu laki – laki dan perempuan , sedangkan di
antara semua saudaraku pada saat itu
belum ada yang menikah. Kakak tertuaku belum menikah juga. Adik perempuanku,
si EZ yang sudah waktunya menikah belum kunjung
datang juga jodohnya. Di keluarga kami ,
orang tua membuat peraturan bahwa anak laki – laki harus mengalah sama anak
perempuan. Sebelum ada anak perempuan yang menikah maka tak satu pun anak laki
– laki yang boleh menikah.
Pada
tahun 2004, EZ di lamar oleh teman sekolahnya dulu di SMAN Prambon. Pada saat
itu EZ sudah bekerja di SMAN Prambon. Pernikahan EZ berlangsung pada
pertengahan tahun 2005. EZ bisa
menanggung sebagian besar biaya pernikahannya dari hasil jerih payahnya
sendiri. Beberapa bulan kemudian kakak laki – lakiku menikah di akhir tahun
2005. Aku harus membantu sebagian biaya pernikahan kakakku.
Pada tahun 2006, bapakku mulai
mengalami kebutaan karena penyakit katarak yang sudah mencapai stadium akhir
dan tidak bisa di operasi. Bapak sudah kami usahakan berobat ke mana – mana
namun tak kunjung sembuh. Bapak sudah tidak bisa bekerja lagi.
Dua tahun sejak kakakku menikah,
aku belum menemukan jodoh juga sampai adikku yg bernama UQ dilamar oleh calon
suaminya pada tahun 2007. Ibu berharap aku tidak menikah dulu untuk membantu
biaya pernikahan adikku tersebut. Kemudian pernikahan UQ dilangsungkan pada tahun 2008. Setahun setelah
pernikahan UQ, aku belum menemukan jodoh juga. Jika ada orang yang bertanya,
“Kapan kamu akan menikah ?” , aku menjawabnya , “ Biarlah Allah yang mengatur
segalanya.” Sudah beberapa orang
berusaha mencarikan aku calon istri, namun selalu gagal sampai akhirnya adik
bungsuku yang bernama BM dilamar oleh
calon suaminya pada tahun 2009. Lagi – lagi ibuku berharap aku yang membantu
membiayai pernikahan adikku. Resepsi pernikahan BM masih ditunda sampai tahun
2010. Pada tahun itu juga, aku dikirim untuk mengajar di daerah pedalaman Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Penduduk setempat telah bergotong royong membangunkan rumah untukku. Kepala
suku di daerah tersebut telah menganggapku sebagai anak angkatnya. Aku diberi lahan seluas 2 hektar. Keadaan di daearah pedalaman
Sumatera masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Pulau Jawa. Banyak
jalan yang belum diaspal. Sungai masih dijadikan sebagai jalur transportasi
utama. Pada saat musim penghujan, jalur darat tidak bisa dilalui karena sangat
becek . Air yang digunakan untuk mandi dan mencuci baju setiap hari berwarna
kecoklatan dan bercampur dengan lumpur. Penduduk menampung air hujan dengan
tandon besar untuk keperluan memasak dan air minum. Penerangan di malam hari menggunakan listrik yang
digerakkan dengan tenaga diesel
dan hanya bertahan sampai jam 9 malam. Setiap kali aku mencharge handphone
tidak pernah sampai penuh.
Aku pulang kampung dari Pulau
Sumatera beberapa hari menjelang pernikahan BM pada tahun 2010. Aku tinggalkan
rumah dan tanahku di Pulau Sumatera. Uang hasil jerih payahku dari sana aku
gunakan untuk membantu biaya pernikahan BM. Pada waktu itu semua saudaraku sudah menikah dan tinggal diriku
seorang yang belum. Setelah pernikahan BM, beberapa tetangga mempunyai negatif
thinking padaku bahkan sampai mencemooh langsung diriku. Mereka menganggap
bahwa aku adalah seorang yang banci. Bahkan seorang kyai di kampung halamanku
mengira bahwa aku adalah laki – laki yang tidak normal. Hal itu membuatku sakit
hati. Pada saat itu, umurku sudah lebih dari 30 tahun dan aku sudah berusaha
untuk menemukan pasangan hidup namun selalu gagal.
Setelah pernikahan BM, aku tidak
kembali ke Pulau Sumatera. Aku mendapat tawaran untuk mengajar di kota
Probolinggo. Aku berangkat ke sana ketika Gunung Bromo sedang meletus pada
tahun 2010. Di sana aku tinggal dekat dengan rumah Ustadz IM yang letaknya
berdekatan dengan Masjid Daarut Tauhid.. Beliau adalah seorang ulama alumni
Universitas Al – Azhar, Mesir. Beliau adalah seorang dosen di Universitas
Zainul Hasan, Kraksaan, Probolinggo. Di
samping itu beliau juga seorang mubaligh. Karena sering ketemu di Masjid Daarut Tauhid ,tempat pengajian beliau , kami
menjadi akrab. Aku selalu diajak mendampingi beliau berdakwah ketika beliau mendapat undangan sebagai pembicara dalam
pengajian umum. Aku sering juga diajak
main ke kampus tempat beliau mengajar. Lama kelamaan aku ditugasi menjadi imam
sholat Shubuh di Masjid Daarut Tauhid dan kadang – kadang mendapat tugas
sebagai khotib shalat Jumat.
Pada suatu hari aku diajak Ustadz
IM untuk mendampingi beliau mengajar di salah satu Pondok Pesantren yang berada
di luar kota Probolinggo. Setelah beliau selesai mengajar, aku diperkenalkan
dengan Ustadz MS, pengasuh pondok tersebut.
Ustadz MS bertanya padaku ,”
Apakah kamu sudah menikah ?”
Aku menjawab ,” Belum, Ustadz ?”
“ Nggak usah khawatir, nanti biar
aku carikan. Di sini kamu bisa memilih santri putri mana yang kamu suka. “,
kata Ustadz MS.
Pada hari Jumat tertentu , Ustadz
MS biasanya mendapat tugas menyampaikan khutbah di Masjid Daarut Tauhid yang
letaknya bersebelahan dengan tempat
tinggalku di Kota Probolinggo. Jadi aku sering ketemu dengan Ustadz MS dan hal
itu menjadikan kami semakin akrab. Ustadz MS mempunyai 2 orang kerabat
perempuan yang belum menikah. Yang satu berdomisili di Gresik dan yang lain
berdomisili di Bangil, Pasuruan. Ustadz MS memberitahukan kepada Ustadz IM agar
aku memilih salah satu di antara mereka. Namun akhirnya, hanya yang bernama Hj
UR yang tinggal di Bangil yang
ditawarkan sebagai calon istriku.
Setelah mendengar berbagai
kelebihan Hj UR , aku merasa rendah diri
( minder ). Bagaimana aku tidak minder , aku merasa levelku berada jauh di bawahnya. Dia seorang hafidzoh,
ustadzah, hajjah, juara 2 lomba Tafsir Quran tingkat Nasional, punya pondok
pesantren, punya banyak santri. Setelah sholat Shubuh, aku berbicara empat mata
dengan Ustadz IM.
“Gus , aku merasa minder
dengannya. Kenapa tidak dengan yang lain saja ?”, aku berkata kepada Ustadz IM.
“ Jika dua insan sudah
ditakdirkan berjodoh, tidak boleh ada kata minder. Kamu tidak akan bisa
mengelak akan ketentuan Allah.”, jawab Ustadz IM.
“ Baiklah, Gus. Beri aku waktu
untuk sholat istikhoroh dulu.”
Setelah aku shalat istikhoroh,
dalam tidur aku bermimpi Ustadz IM dan Ustadz MS mengajakku melamar Hj UR dengan
naik mobil Taft GT. Dalam perjalanan menuju Kota Bangil , ada orang tua yang
menghadang di tengah jalan. Orang tua
tersebut berkata agar kami kembali ke Probolinggo karena kalau kami
melanjutkan perjalanan akan berakibat fatal. Aku ceritakan mimpiku tersebut
kepada Ustadz IM dan meminta beliau untuk membatalkan perjodohan tersebut.
Namun Ustadz menangguhkan pembatalan karena anaknya sedang sakit.
Pada suatu hari Jumat, Ustadz MS mendapat tugas menyampaikan
khutbah Jumat di Masjid Daarut Tauhid. Setelah shalat Jumat beliau bertemu
denganku.
“Pak, bagaimana keputusan antum ?”,
Ustadz MS bertanya padaku.
“ Maaf, aku belum bisa memberi
keputusan, Ustadz.”, jawabku.
Ustadz MS meminta masuk ke dalam bilikku
kemudian aku mempersilakan beliau duduk.
“ Kenapa antum belum bisa memberi
keputusan padahal pihak Bangil sudah rela menerima antum sebagai calon suaminya
?”, Ustadz MS bertanya.
“ Aku bukan keturunan kyai,
Ustadz.”,jawabku.
“ Tidak masalah, kita semua ini
keturunan orang – orang Hindu atau Buddha. Jika seseorang menikah karena
kecantikannya maka ia akan mendapatkan kesombongannya, jika seseorang menikah
karena hartanya maka tidak akan bertambah hartanya selain kemiskinan, jika seseorang
menikah karena keturunannya maka ia akan mendapatkan kehinaan, maka menikahlah
karena agamanya.”
Mulutku seolah – olah terkunci
ketika aku hendak menceritakan tentang mimpi yang kualami. Akhirnya aku menyetujui ketika diajak untuk melakukan ta’aruf atau khitbah ke
Bangil. Keesokan harinya aku bersama dengan Ustadz MS dan Ustadz IM berangkat
ke Bangil untuk melakukan khitbah. Setelah sampai di rumah Hj UR kami diberi
kesempatan untuk saling bertanya. Sebelum kami kembali ke Probolinggo aku
menyatakan bersedia menikahi Hj UR. Setelah itu aku ajak orang tua dan sanak
kerabatku untuk melamar Hj UR. Kemudian giliran pihak keluarga Hj UR yang
datang ke rumahku.
Dalam acara tunangan di rumahku
bapakku berkata , “ Beginilah keadaan kami , anakku tidak punya kelebihan apa –
apa , kenapa lamarannya kok diterima ?”
“ Kami tidak memandang semua itu,
yang penting keluarga Bapak masih ada perjuangannya dalam agama.”, jawab
kakak ipar Hj UR.
Dua bulan sebelum hari
pernikahan, aku dan Hj UR tidak boleh saling berkomunikasi baik melalui sms
atau telepon. Duapuluh hari menjelang hari pernikahan, ibu jariku tertusuk duri
ikan lele ketika sedang membersihkannya. Hal ini membuat tanganku terkena
infeksi dan terasa kejang – kejang. Badanku terasa panas bagaikan dibakar bara
api. Aku terbaring lunglai di atas ranjang. Melihat hal itu, bibiku sampai
menangisi keadaanku. Kejadian itu bersamaan dengan lahirnya keponakanku dari
adik bungsuku. Meskipun keadaanku sudah parah, aku tidak memberi kabar kepada
calon istriku dan pihak keluarganya. Aku hanya memohon kepada Allah agar aku
segera sembuh dan pernikahan tidak batal atau gagal karena aku sakit. Lima hari
menjelang hari H barulah aku sembuh dari sakit. Setelah itu aku langsung
mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk prosesi pernikahan.
Prosesi pernikahanku dengan Hj UR
berlangsung pada bulan Juni tahun 2011. Resepsi pernikahan itu diadakan di Gedung dekat Alun – alun Bangil
secara mewah dan meriah. Banyak tamu undangan yang hadir memenuhi gedung
tersebut. Setelah acara resepsi di Bangil selesai, kuboyong istriku ke Nganjuk.
Setelah acara resepsi di Nganjuk, istriku menangis di atas ranjang.
Istriku berkata,” Aku minta maaf
karena aku bukanlah istri yang baik untukmu. Aku khawatir tidak bisa
menyenangkan hatimu dan hal itu hanya
akan membuatku malah berdosa. Pernikahan ini hanya untuk menuruti kenginan
saudara – saudaraku. Aku tidak bisa berkutik kepada mereka. Diminta ke utara
aku ke utara , diminta ke selatan aku keselatan. Aku doakan semoga kamu
mendapatkan pengganti yang lebih baik daripada aku. Pulangkan aku ke rumahku di
Bangil. Kebahagianku adalah jika aku berada di tengah – tengah murid –
muridku.”
Bagai di sambar petir di siang
hari aku mendengar kata – kata itu. Mungkin ini adalah arti mimpi yang kualami,
kemudian aku berkata ,” Ya, aku menyadari mungkin aku bukanlah orang yang kau
harapkan selama ini. Aku bukanlah orang yang pantas menjadi suamimu. Mengapa
baru sekarang kamu katakan semua itu. Aku belum bisa menceraikanmu sekarang juga. Kamu nggak tahu betapa hancurnya hati
orang tuaku jika langsung mendengar semua ini. Jika nanti kamu ingin bercerai
denganku , kamu sendiri yang harus mengurus di pengadilan dan membiayainya.”
Terlalu dini jika masalah ini
kuceritakan kepada orang tua dan saudara – saudaraku. Aku tak ingin mereka shok
mendengarnya apalagi resepsi pernikahan baru saja selesai dan dekorasi masih
menghiasi halaman rumah. Aku sudah
terbiasa menghadapi pahitnya kenyataan hidup dan hal itu telah menempaku menjadi seorang
yang tegar. Aku dan keluargaku harus
menghadapi rasa malu kepada tetangga jika sebentar lagi aku akan bercerai
dengan istri pertamaku. Dua hari setelah resepsi di Nganjuk aku dan istriku
berpamitan kepada orang tua dan sanak kerabat untuk kembali ke Bangil. Aku
berusaha tidak menunjukkan muka sedihku sehingga semua menganggap seolah – olah
pernikahan kami sakinah mawaddah wa rahmah. Sebenarnya kehadiranku di rumah
istriku hanyalah bagai seonggok sampah yang tak berguna. Tiada keceriaan yang
terpancar di wajah istriku, bahkan dia sering kali murung di bawah jemuran.
Keberadaanku di rumahnya hanyalah menambah beban dan mengganggu kehidupannya.
Rutinitas istriku di Bangil padat sekali. Hampir tak pernah ia berada di rumah
di siang hari. Dari pagi sampai malam ia mengajar. Pulang mengajar badannya
sudah terlalu lelah kemudian ia tidur pulas sampai Shubuh. Aku menasehatinya
untuk mengurangi aktivitasnya, namun tidak berguna nasihat tersebut. Ia lebih
mengutamakan kepentingan orang banyak karena dia adalah orang yang sangat
dibutuhkan di lingkungan sekitarnya.
Bulan Ramadhan pun tiba. Aku
sudah tidak pernah pulang lagi ke rumah istriku sampai akhir Ramadhan. Istriku
sering kali sms minta cerai seperti yang pernah ia minta padaku setelah resepsi
pernikahan berakhir. Setiap sms darinya
aku simpan. Aku mulai berani bercerita kepada orang tua dan saudara – saudaraku
tentang masalah rumah tangga yang baru saja kami bina yang tak mungkin lagi aku
lanjutkan. Mendengar ceritaku tersebut, mata ibuku berkaca – kaca melihatku.
Lebaran pun tiba. Setelah
melakukan sungkeman kepada kedua orang tuaku, aku berangkat ke rumah istriku di
Bangil untuk menceraikannya dan bermaaf – maafan kepada sanak familinya.
Setelah mengetahui aku menceraikan istriku, kakak iparku mendatangiku dan marah
– marah.
“ Masalah apa yang terjadi
sehingga kamu menempuh jalan perceraian ini. Bukankah kamu tahu bahwa
perceraian itu adalah perkara halal yang dimurkai oleh Allah. Apakah kamu tidak
takut akan murka Allah ?”, kata kakak iparku.
“ Silakan baca sendiri sms ini ,
Mas !”, aku berkata sambil menyodorkan handponeku kepadanya.
“ Kamu saja yang membacanya !”,
pinta kakak ipar,
Aku bacakan sms dari mantan istri
yang isinya bahwa dia tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri
dan minta diceraikan saja. Setelah aku bacakan sms tersebut , barulah kakak
ipar menyadari siapa sebenarnya yang bersalah di antara semua yang telah
terjadi. Seandainya aku ditolak seorang wanita sebelum ijab qabul terjadi,
bagiku bukan masalah. Tetapi aku ditolak oleh seorang wanita setelah ijab qabul
terjadi , tentu akan menimbulkan masalah baik psikis maupun mental bagi diriku
maupun orang tuaku.
Kakak ipar berkata ,” Aku bingung
, apa yang harus aku katakan kepada bapakmu nanti. Kami malu, malu kepada orang
tuamu dan malu kepada tetangga di sekitar ini. Kami akan mengurus perceraianmu
tetapi kamu harus sabar menunggu. Usia pernikahanmu baru seumur jagung dan kami
harus merahasiakan dulu hal ini agar tidak ada tetangga yang mendengarnya.
Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini ? Kami telah mengeluarkan biaya
pernikahan sebesar 40 juta ternyata hanya berjalan selama dua bulan.”
Beberapa hari kemudian pihak
keluarga mantan istriku datang ke Nganjuk untuk minta maaf dan mengembalikan
maskawin yang telah kuberikan. Dengan mengembalikan maskawin tersebut kepadaku tidak akan mengubah statusku “ BELUM KAWIN” lagi. Melihat
kedatangan pihak keluarga mantan istri datang ke rumah, ibuku menangis histeris
di atas lantai selama kurang lebih 15 menit.
Sambil menangis , ibuku berkata,”
Oh anakku, kebangeten, bagaimana rasanya sakit hatimu ditolak oleh seorang
wanita. Aku doakan seorang ustadzah yang hafidzoh yang telah menolakmu nanti
akan masuk surga tanpa dihisab.”
Sungguh mengharukan suasana yang
terjadi saat itu. Semuanya terdiam sampai ibuku berhenti dari tangisnya. Mataku berkaca – kaca karena
mendengar jerit tangis dan kata – kata yang diucapkan oleh ibuku. Ternyata
bapakku sangat sabar dalam menghadapi kenyataan ini. Bapakku tidak marah sama
sekali kepada pihak keluarga mantan istri dan beliau berkata bahwa apa yang
telah terjadi adalah suratan dari – Nya.
Perceraian itu telah menambah
citra buruk bagi diriku di lingkungan kampung halamanku. Beberapa orang
beranggapan bahwa aku benar – benar laki – laki yang tidak normal sehingga
sampai istrinya minta diceraikan. Bahkan seorang kyai berkata padaku bahwa jika
aku bukan laki – laki lebih baik tidak usah menikah selamanya. Sakit hati oleh
omongan tetangga bagiku adalah hal yang biasa biarlah waktu yang akan menjawab
segalanya. Setelah kejadian itu, aku mengajar di Surabaya sampai sekarang.
Komentar
Posting Komentar